Akuntabilitas Moral Penyelenggara Negara

Keengganan Ketua DPR Akbar Tanjung, yang telah divonis bersalah dalam kasus korupsi, Jaksa Agung M.A. Rachman, yang “ceroboh” tidak memasukkan salah satu rumah mewah yang dimiliki ke dalam formulir daftar kekayaan KPKN, dan Gubernur DKI Sutiyoso serta sejumlah anggota legislatif yang disinyalir sebagai penebar dan penikmat suap, untuk mengundurkan diri dari jabatannya masing-masing menunjukkan rendahnya etika publik dan akuntabilitas moral (moral accountability) para penyelenggara negara di republik ini. Perilaku seperti ini juga akan membuat masyarakat semakin kehilangan kepercayaan (trust) terhadap para penyelenggara negara, sedangkan kepercayaan merupakan tonggak penting dalam pembentukan pemerintahan yang berwibawa dan bermoral.

***

Negara, menurut Hegel, bukan sekedar sebuah organisasi melainkan suatu organisme moral (moral organism). Oleh karena itu, seluruh aktifitas negara selayaknya merupakan aktifitas moral. Artinya, seluruh aktifitas para penyelenggara negara harus dapat dipertanggungjawabkan tidak hanya secara hukum formal tetapi juga secara moral. Atau dengan kata lain, selain tidak melanggar aturan hukum, semua perilaku pejabat publik harus berdasarkan para prinsip-prinsip moral dan etika yang sesuai dengan, dan oleh karena itu dapat diterima oleh, norma-norma yang berlaku dalam masyarakat. Hal inilah yang dimaksudkan oleh Dwivedi (1987) sebagai akuntabilitas moral yang harus dimiliki oleh setiap individu penyelenggara negara.

Sayangnya, apa yang digambarkan pada awal tulisan ini menunjukkan bahwa para pejabat publik yang dinilai “bermasalah” oleh masyarakat selalu berlindung di balik pendekatan hukum formal untuk mempertahankan kedudukan mereka dan untuk berkelit bahwa apa yang mereka lakukan adalah benar. Karena melakukan upaya banding dan tidak diatur dalam tata tertib DPR, Akbat Tanjung masih merasa layak untuk mempertahankan posisinya. Karena tidak dapat dibuktikan, tuduhan kencang terjadinya suap pada pemilihannya sebagai gubernur tidak sedikit pun mengurungkan niat Sutiyoso untuk terus memimpin DKI. Demikian juga dengan sejumlah anggota legislatif yang disinyalir sebagai penikmat suap. Sedangkan M.A. Rachman merasa bahwa hanya presidenlah yang berhak menilai apakah dia masih layak atau tidak memimpin Kejaksaan Agung walaupun masyarakat manganggap kepemilikan rumah mewah adalah indikasi ketidakjujuran dan ketidaklayakan untuk tetap mempertahankan kedudukannya.

Argumentasi para penyelenggara negara seperti ini terjadi karena mereka hanya menggunakan pendekatan obyektif (objectivist approach) dalam menilai etika dan moralitas. Pendekatan ini menganggap bahwa selalu ada standar-standar nyata, obyektif dan absolut yang berasal dari luar diri manusia untuk menilai kebenaran atau ketidakbenaran (rigthness or wrongness) semua perilaku manusia. Oleh karena itu, perilaku seseorang dianggap etis dan bermoral sepanjang tidak bertentangan dengan hukum, aturan atau tata tertib yang berlaku.

Pada hal sesungguhnya, hukum, aturan dan tata tertib kurang memadai untuk dijadikan sebagai satu-satunya ukuran etika dan moralitas. Selain karena tidak mungkin menciptakan semua aturan hukum untuk setiap aktifitas manusia, juga ada kecenderungan manusia untuk sengaja mengabaikan dan atau memanipulasi aturan hukum yang ada. Oleh karena itu, pendekatan interpretasi (interpretivist approach) terhadap etika dan moralitas tidak meyakini adanya standar-standar obyektif dan absolut yang berasal dari luar diri manusia, seperti aturan hukum, yang dapat dijadikan ukuran untuk menilai etika dan moralitas perilaku manusia. Sebaliknya, pendekatan ini berpendapat bahwa akal budi atau kesadaran manusia (human consciousness) yang berasal dari dalam diri setiap individu adalah satu-satunya ukuran untuk menilai etika dan moralitas perilaku manusia.

Mereka yang peduli pada penegakan etika administrasi negara sepertinya sepakat untuk menggabungkan kedua pendekatan ini. Oleh karena itu, selain hukum, aturan dan tata tertib yang ada, suara hati atau hati nurani (conscience) juga diakui sebagai salah satu dasar untuk menilai etika dan moralitas perilaku para penyelenggara negara.  Hukum, aturan dan tata tertib adalah sumber penilaian etika dan moralitas yang berasal dari luar sedangkan suara hati adalah dasar penilaian etika dan moralitas yang berasal dari dalam diri para penyelengara negara.

Karena multi interpretasi terhadap suatu aturan hukum dapat dengan mudah terjadi, menilai etika dan moralitas perilaku pejabat publik dengan menggunakan hukum, aturan dan tata tertib juga dapat menghasilkan penilaian yang tidak seragam. Misalnya, dengan interpretasi aturan hukum yang mereka lakukan, para pendukung Akbar Tanjung, M.A. Rachman dan Sutiyoso merasa bahwa tindakan mereka untuk tetap bertahan pada kedudukannya masing-masing adalah benar, etis dan bermoral. Sebaliknya, dengan interpretasi berbeda terhadap aturan hukum yang sama, tidak sedikit yang berkesimpulan bahwa tindakan mempertahankan kedudukan dari para penyelenggara negara ini tidak etis dan bertentangan dengan prinsip-prinsip moral dan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat.

Ketika terjadi pertentangan interpretasi aturan hukum seperti inilah maka pendekatan interpretasi seharusnya menjadi pedoman dalam menilai etika dan moralitas perilaku penyelenggara negara. Dengan didasari hati nurani, pertentangan etis tidaknya perilaku para penyelenggara negara dapat dihindari karena diyakini bahwa pertimbangan hati nurani setiap manusia terhadap suatu perilaku adalah identik. Karena penilaian hati nurani yang identik itulah sehingga tercipta prinsip-prinsip moral, etika atau norma-norma yang diyakini dan berlaku dalam satu kelompok masyarakat.

Berbeda dengan pejabat publik yang memiliki kepentingan untuk mempertahankan kedudukannya, rakyat umumnya lebih bebas mengemukakan penilain berdasarkan pertimbangan hati nurani mereka. Dan oleh karena pertimbangan etika dan moralitas berdasarkan hati nurani selalu identik, maka sesungguhnya dapat dipastikan bahwa hati nurani para penyelenggara negara yang sedang mendapat sorotan publik saat ini identik dengan penilaian yang dikemukakan oleh masyarakat luas. Bahwa tindakan mereka bertahan pada kedudukan masing-masing sebenarnya tidak etis karena bertentangan dengan prinsip-prinsip moral dan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat sebagaimana yang diungkapkan dalam berbagai media massa.

Persoalannya sekarang adalah apakah para penyelenggara negara ini mau mendengarkan hati nurani mereka atau tetap berlindung dibalik argumentasi aturan hukum. Hanya saja perlu diingat bahwa kepercayaan masyarakat akan sirna apabila perilaku para penyelenggara negara bertentangan dengan prinsip-prinsip moral, etika dan norma-norma yang diyakini oleh masyarakat. Sedangkan kepercayaan masyarakat adalah syarat mutlak pembentukan pemerintahan yang berwibawa dan bermoral.

Posted in Uncategorized | Leave a comment

CBT dan Pola Karir PNS

Once, land and capital were the key strategic resources. Now, knowledge is our key strategic resource and learning is our key strategic skill

Algore, “Lifelong Learning Summit” January 1999

1. PENDAHULUAN

Sehebat apa pun lembaga politik membuat kebijakan publik, birokrasi yang buruk bisa dengan gampang membuat implementasi sebuah kebijakan remuk. Edward III, misalnya, mengemukakan bahwa selain faktor komunikasi dan ketersediaan sumber daya, struktur birokrasi dan disposisi para birokrat (PNS) sangat menentukan berhasil tidaknya implementasi suatu kebijakan publik.[1] Struktur birokrasi yang dimasudkan oleh Edward III adalah tersedianya organisasi dan administrasi yang sesuai dengan karakteristik kebijakan publik yang akan diimplementasikan. Sedangkan disposisi para PNS adalah sikap dan perilaku birokrat yang sejalan dengan kebijakan publik yang mereka harus implementasikan. Sebaik apapun suatu kebijakan publik dibuat apabila PNS tidak bersikap positif terhadap kebijakan tersebut maka implementasi kebijakan dimaksud tidak akan efektif.

Hampir sepuluh tahun terakhir, angin reformasi bertiup kencang di negara ini. Sayangnya, reformasi yang terjadi di Indonesia didominasi oleh reformasi politik dan sepertinya mengabaikan reformasi birokrasi/kepegawaian. Dasar Negara yang dahulu dianggap sakral sudah diamendemen beberapa kali. Undang-undang pemilihan umum yang baru telah menghasilkan pimpinan nasional dan puluhan gubernur, bupati, dan walikota melalui pemilihan langsung. Kewenangan yang selama ini hanya menjadi milik pemerintah pusat, oleh undang-undang otonomi, telah sebahagian besar dilimpahkan ke pemerintah provinsi, kabupaten atau kota. Terakhir, reformasi mendasar di bidang politik dilengkapi dengan undang-undang anti korupsi dan pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi.

Kebalikan dari perubahan besar yang telah terjadi di bidang politik ini, kepegawaian Indonesia sepertinya mengalami atau mempertahankan status quo. Berbagai laporan memperlihatkan bahwa selama periode reformasi di berbagai bidang, tidak banyak perubahan yang terjadi pada manajemen kepegawaian. Sistem rekrutmen dan promosi masih jauh dari prinsip-prinsip berdasarkan meritokrasi[2]. Selain belum dapat memenuhi kebutuhan pegawai secara layak, sistem penggajian yang ada pada saat ini juga belum berkaitan langsung dengan kinerja karena sistem penilaian kinerja pegawai juga belum memadai. Selain itu, kompetensi pegawai lemah dan disiplin dan akuntabilitas yang kurang. Pegawai negeri siluman[3] masih ada dan korupsi masih terjadi dengan penegakan hukum yang belum merata. Dengan kata lain, kondisi birokrasi di Indonesia masih belum efisien and efektif. Hal ini menyebabkan tingginya ketidakpuasan masyarakat karena mereka merasa tidak mendapatkan pelayanan yang memadai dari pegawai pemerintah.

Dalam kampanyenya, Presiden Susilo Bambang Yudoyono dan Jusuf Kalla (SBY-JK), misalnya, menekankan pentingnya pemberantasan korupsi dan reformasi birokrasi. Kedua hal ini saling terkait erat, karena disadari bahwa tidak mungkin dapat memberantas korupsi tanpa upaya reformasi birokrasi pemerintahan. Namun demikian, setelah kurang lebih dua tahun berkuasa, kebijakan mengenai reformasi birokrasi di Indonesia belum berbentuk. Kondisi birokrasi pemerintah saat ini masih kurang lebih sama dengan yang digambarkan oleh Bank Pembangunan Asia (ADB)[4] pada tahun 2004 ketika pasangan SBY-JK mulai berkuasa, seperti berikut ini.

Pertama, sistem administrasi kepegawaian tidak kondusif untuk menerapkan prinsip-prinsip kepemerintahan yang baik dan peningkatan kinerja. Kedua, organisasi pemerintah, baik di pusat maupun di daerah, belum didesain dan diisi dengan sumber daya manusia yang sesuai dengan kebutuhan pelayanan masyarakat. Ketiga, gaji dan kesejahteraan pegawai masih belum mampu untuk meningkatkan kinerja dan mencegah korupsi. Keempat, pelatihan pegawai negeri masih menerapkan metode-metode tradisional dan belum berfokus pada peningkatan keterampilan teknis dan manejerial. Kelima, klasifikasi jabatan, penilaian keterampilan dan kompetensi jabatan, rekrutmen, penempatan, mutasi dan promosi belum berdasarkan prinsip-prinsip meritokrasi. Terakhir, penempatan dan promosi masih menggunakan sistim tertutup dan belum jelas hubungan antara remunerasi dan insentif dengan kinerja.

Kondisi seperti ini juga diungkapkan oleh Departemen Dalam Negeri (Depdagri) dalam laporan yang dibuat pada tahun 2005.[5] Lebih jelasnya, Depdagri, antara lain, menilai bahwa jumlah pegawai negeri yang dimiliki oleh pemerintah daerah saat ini umumnya cenderung melebihi jumlah yg diperlukan. Ironisnya, walaupun jumlahnya berlebih, pada saat yang sama, pemerintah daerah juga kekurangan tenaga-tenaga atau ekspertise tertentu. Hal ini antara lain disebabkan oleh distribusi atau penerimaan pegawai yang lebih banyak tenaga-tenaga administratif dibandingkan dengan tenaga-tenaga teknis yang melakukan pelayanan langsung kepada masyarakat. Masalah lain yang ditemukan adalah maraknya kasus-kasus putra daerah dalam pengangkatan pejabat atau promosi pegawai. Hal ini mengindikasikan kecenderungan semakin dipolitisasinya pegawai negeri sehingga berakibat pada rendahnya netralitas dan profesionalisme mereka. Selain itu, dengan otonomi, mobilitas pegawai negeri baik secara horizontal maupun vertikal sangat rendah sehingga akan sulit untuk mengharapkan PNS sebagai perekat kesatuan bangsa (nation buiding) seperti pada resim-resim sebelumnya. Terakhir, Depdagri juga menemukan masalah menyangkut kurang jelasnya perencanaan SDM dan pengembangan karir pegawai dan maraknya pelaksanaan pendidikan dan pelatihan (diklat) yang tidak berdasarkan kebutuhan karena tidak dilakukannya analisa kebutuhan diklat (training need assessment).

Kajian yang dilakukan oleh berbagai organisasi donor (USAID 2006)[6] juga menyimpulkan, antara lain, bahwa kelembagaan pemerintah daerah dan pusat dan manajemen pegawai negeri di Indonesia membutuhkan reformasi agar dapat mendukung reformasi yang terjadi pada bidang-bidang lainnya. Pada kelembagaan misalnya, kajian ini menyimpulkan bahwa sejumlah pemerintah kabupaten/kota dan provinsi sudah melakukan penataan kelembagaan sesuai dengan karakteristik dan kebutuhan daerah mereka, yang menghasilkan struktur organisasi pemerintah daerah yang ramping. Namun demikian, secara umum pemerintah kabupaten/kota dan provinsi masih cenderung terlalu berlebihan dalam membangun organisasi mereka sehingga membebani anggaran belanja negara.

Sedangkan yang berhubungan dengan manajemen sumber daya manusia aparatur juga ditemukan berbagai persoalan, antara lain, masih terlalu banyaknya instansi pusat (seperti MenPAN, LAN, BKN, Departemen Keuangan, departemen teknis lainnya) yang terlibat dalam manajemen kepegawaian dengan koordinasi yang lemah dan cenderung saling berusaha menguatkan kewenangan masing-masing. Selain itu, rekruitmen, penempatan dan promosi pegawai masih belum berdasarkan asas meritokrasi (merit system). Hal ini disebabkan, antara lain, karena belum jelasnya deskripsi pekerjaan bagi setiap pegawai (job description), lemahnya hubungan antara prestasi kerja dan kenaikan pangkat dan promosi dan gaji dan insentif, instrumen pengukuran kinerja yang lemah, dan belum jelasnya perencanaan dan perkembangan karir. Permasalahan juga masih nampak pada pendidikan dan pelatihan (diklat) yang belum berdasarkan kebutuhan (supply-driven rather than demand-driven), disiplin dan penegakan hukum kepegawaian yang masih lemah, dan perencanaan pensiun yang belum ada dengan paket pensiun yang tidak menarik sehingga ada kecenderungan pegawai untuk memperpanjang usia pensiun (USAID 2006).

2. PENGEMBANGAN KARIR DAN DIKLAT BERBASIS KOMPETENSI

Dari berbagai hasil kajian yang disebutkan terdahulu dapat disimpulkan adanya berbagai kendala dalam manajemen PNS di Indonesia saat ini, termasuk di antaranya, kurang jelasnya perencanaan SDM dan pola pengembangan karir pegawai dan masih maraknya pelaksanaan pendidikan dan pelatihan (diklat) yang tidak berdasarkan kebutuhan. Pada dasarnya, UU Kepegawaian No 43/1999 dengan tegas menerangkan bahwa “Manajemen Pegawai Negeri Sipil adalah keseluruhan upaya-upaya untuk meningkatkan efisiensi, efektivitas dan derajat profesionalisme penyelenggaraan tugas, fungsi, dan kewajiban kepegawaian, yang meliputi perencanaan, pengadaan, pengembangan kualitas, penempatan, promosi, penggajian, kesejahteraan, dan pemberhentian.” (Pasal 1 Ayat 8). Untuk dapat melakukan hal tersebut maka sejak awal penerimaan, setiap PNS harus melalui analisis jabatan dan deskripsi pekerjaan serta diseleksi berdasarkan spesifikasi kompetensi. Analisis jabatan (job analysis) berfungsi untuk mengetahui apa tugas dan fungsi jabatan tersebut sedangkan deskripsi pekerjaan (job description) memberikan informasi nama jabatan, pengorganisasian pekerjaan (siapa atasan langsung dan siapa bawahannya), tanggung jawab, dan tugas dan fungsi utama. Sedangkan spesifikasi kompetensi jabatan (personnel specification) menjelaskan pengetahuan, keterampilan, kualifikasi pendidikan, diklat, dan pengalaman baik yang “wajib” maupun “pendukung” yang harus dimiliki untuk menduduki jabatan tertentu serta jenjang karir yang tersedia untuk jabatan terebut.

Berdasarkan hal ini dapat disimpulkan bahwa, di samping pola karir yang jelas, pasti, transparan, dan berdasarkan prinsip-prinsip meritokrasi, tersedianya analisis jabatan, deskripsi pekerjaan, dan spesifikasi kompetensi jabatan menjadi syarat mutlak yang harus dipenuhi untuk terciptanya pola karir yang baik dan penyelenggaraan diklat berbasis kompetensi. Dengan adanya kejelasan tugas dan tanggung jawab yang harus dilaksanakan oleh setiap individu pegawai dan kompetensi yang harus dimiliki untuk dapat mengemban tugas dan tanggung jawab tersebut maka pejabat yang bertanggung jawab terhadap kinerja pegawai dapat menilai apakah pegawai yang ada saat ini memiliki kompetensi yang dipersyaratkan. Kesenjangan antara kompetensi yang dimiliki dan kompetensi yang dipersyaratkan untuk jabatan dimaksud dapat menjadi dasar pelaksanaan diklat berdasarkan kompetensi (competency based training/CBT). Hal ini sebenarnya yang dimaksudkan dalam Pasal 3 PP 101/2000 tentang Pendidikan dan Pelatihan Jabatan PNS yang menyatakan bahwa “sasaran Diklat adalah terwujudnya PNS yang memiliki kompetensi yang sesuai dengan persyaratan jabatan masing-masing“.

Diklat berdasarkan kompetensi (CBT) memiliki beberapa ciri-ciri, yang dalam berbagai praktek pelaksanaan diklat PNS di Indonesia belum mengadopsi ciri-ciri tersebut walaupun “niat baik“ untuk itu telah ditunjukkan oleh PP 101/2000.

1.    CBT menekankan pada kompetensi apa yang harus dimiliki peserta pada akhir pelatihan. Sepanjang kompeteni tersebut dapat dicapai oleh peserta pelatihan maka tidak penting siapa yang mengajar, kapan dan dimana pelatihan tersebut berlangung, dan sumber belajar apa yang digunakan. Pada diklat-diklat PNS di Indonesia, berbagai persyaratan administrasi masih sering digunakan dalam menentukan siapa yang dapat mengajar, di mana pelatihan harus dilakukan, dan sumber belajar yang mana yang harus dipergunakan.

2.    CBT bertujuan agar peserta mampu melakukan tugas dan tanggung jawabnya di tempat kerja dengan baik. Oleh karena itu, idealnya, pelatihan dan penilaian juga berlangsung di tempat kerja dan dalam kondisi ril. Atau minimal, pelatihan kadang-kadang berlangsung di kelas, kadang-kadang di tempat kerja. Sebaliknya, umumnya diklat PNS kita dijauhkan dari tempat kerja. Diasramakan.

3.    CBT bertujuan untuk meningkatkan kompetensi tertentu/spesifik peserta. Oleh karena itu, setiap pelatihan dibuat atau didesain untuk mencapai kompetensi dan outcome tertentu. Pelatihan seperti ini umumnya berlangsung antara 18 – 60 jam. Di Indonesia, umumnya Diklat PNS berlangsung selama berminggu-minggu bahkan beberapa bulan dengan materi yang sangat banyak sehingga tidak jelas kompetensi apa yang sesungguhnya ingin dicapai. Sebagai contok, kurikulum Diklat Kepemimpinan Tingkat IV dan III terdiri dari empat kelompok (tiga kajian dan satu aktualisasi) dengan jumlah 22 materi berbeda. Salah satu materi “Manajemen SDM, Keuangan, dan Materil” sebenarnya dapat menjadi tiga jenis diklat berbeda. Materi “Kordinasi dan Hubungan Kerja” dapat menjadi satu jenis diklat. Demikian pula dengan materi “Pemecahan Masalah dan Pengambilan Keputusan” dan materi lainnya dapat beridiri sendiri menjadi satu jenis diklat.

4.    CBT fokus pada outcome, bukan input. Dengan demikian, CBT tidak mempersoalkan di mana dan kapan peserta memperoleh kompetensi tersebut (pada pekerjaan sebelumnya atau pada bangku sekolah/kuliah) kompetensi tersebut akan diakui secara resmi.

5.    CBT mengenal Recognition of Prior Learning (RPL) atau semacam sistem akreditasi di perguruan tinggi. Dengan demikian peserta diklat tidak perlu mengikuti semua materi apabila mereka sudah memiliki kompetensi yang ingin dicapai pada materi tersebut. Menurut CBT, adalah tidak efisien dan pemborosan melatih pegawai yang sudah meiliki kompetensi yang akan dilatihkan. Pegawai seperti ini bahkan akan mengacaukan kelas apabila dipaksa mengikuti materi yang mereka sudah ketahui. (Ilustrasi: Doktor manajemen ikut Pim II di Yokyakarta. Widyaiswaranya S1).

6.    CBT lebih mengutamakan keterampilan dibandingkan dengan pengetahuan.

Selain mengadopsi karakteristik diklat berbasik kompetensi, PP 101/2000 juga mempersyaratkan bahwa ”metode diklat disusun sesuai dengan tujuan dan program diklat bagi orang dewasa” (Pasal 18). Untuk dapat menerapkan metode diklat bagi orang dewasa, maka karakteristik orang dewasa dalam proses belajar-mengajar perlu dipahami. Sama halnya dengan CBT, karakteristik orang dewasa seperti disebutkan di bawah ini sepertinya belum maksimal diadopsi oleh para penyelenggara diklat-diklat PNS di Indonesia:

1.    Orang dewasa memiliki pengalaman dan informasi yang memadai. Oleh karena itu, proses belajar mengajar di dalam diklat sedapat mungkin melibatkan dialoh dan diskusi dengan memanfaatkan pengalaman peserta sebagai bahan pelatihan.

2.    Orang dewasa memiliki nilai, kepercayaan, dan pendapat yang berbeda. Oleh karena itu orang-orang yang terlibat dalam diklat PNS harus dapat menghargai perbedaan kepercayaan, sistem nilai, dan gaya hidup peserta serta memberikan kesempatan seluas mungkin untuk mengemukakan pendapat mereka berbeda dan beradu argumentasi (berdebat).

3.    Orang dewasa memiliki gaya dan kecepatan belajar yang berbeda. Oleh karena itu sedapat mungkin strategi diklat divariasikan misalnya dalam bentuk diskusi dan pemecahan masalah dalam kelompok-kelompok kecil. Variasi juga diperlukan dalam bentuk auditory, visual, tactile (tangible and touchable) dan metode patisipatif.

4.    Orang dewasa tahu apa yang mereka inginkan. Oleh karena itu mereka umumnya tidak suka hanya “digurui” atau “disuapin”.

5.    Orang dewasa selalu menghubungkan pengetahuan dan informasi baru dengan informasi atau pengalaman sebelumnya. Untuk itu dalam diklat PNS sebaiknya konsep dan teori harus dihubungkan dengan keadaan praktikal/sesungguhnya dan umumnya orang dewasa tidak senang metode ceramah.

6.    Orang dewasa secara phisik gampang lelah. Oleh karena itu, ‘break” secara regular diperlukan, yang untuk metode ceramah minimal setiap 45-60 menit. (Ilustrasi. Kasihan melihat peserta Pim II yang sudah sangat lelah duduk dalam kelas seharian).

7.    Orang dewasa punya harga diri dan ego yang tinggi. Karena setiap individu orang dewasa berbeda (termasuk kepercayaan diri dan ego) maka setiap pendapat harus dihargai.

8.    Orang dewasa cenderung belajar untuk pemecahan masalah. Untuk itu untuk setiap materi yang diberikan harus jelas bentuk aplikasinya di tempat kerja.

3. PENUTUP

Reformasi di bidang kepegawaian adalah hal mendesak yang harus dilakukan agar tujuan reformasi menyeluruh yang sudah dimulai di bidang politik dapat terwujud. Reformasi manajemen kepegawaian yang mendesak dilakukan meliputi perencanaan, pengadaan, pengembangan kualitas, penempatan, promosi, penggajian, kesejahteraan, dan pemberhentian (pensiun).

Agar diklat berbasis kompetensi dapat dijadikan instrumen pengembangan karir pegawai maka di samping pola karir yang jelas, pasti, transparan, dan berdasarkan prinsip-prinsip meritokrasi, tersedianya analisis jabatan, deskripsi pekerjaan, dan spesifikasi kompetensi jabatan menjadi syarat mutlak yang harus dipenuhi. Dengan adanya kejelasan tugas dan tanggung jawab yang harus dilaksanakan oleh setiap individu pegawai dan kompetensi yang harus dimiliki untuk dapat mengemban tugas dan tanggung jawab tersebut maka pejabat yang bertanggung jawab terhadap kinerja pegawai dapat menilai apakah pegawai yang ada saat ini memiliki kompetensi yang dipersyaratkan. Kesenjangan antara kompetensi yang dimiliki dan kompetensi yang dipersyaratkan untuk jabatan dimaksud dapat menjadi dasar pelaksanaan diklat berdasarkan kompetensi (competency based training/CBT). Dan kompetensi yang dimiliki dari hasil mengikuti diklat dapat dijadikan sebagai salah satu dasar dalam pengembangan karir pegawai. Hasilnya, tidak ada lagi diklat PNS yang tidak jelas kompetensi yang ingin dicapai dan setiap diklat yang diikuti mempunyai dampak posif terhadap pengembangan karir pegawai.

Dengan kewenangan yang dimiliki, pemerintah daerah sebenarnya dapat menyusun pola manajemen kepegawaian daerah mereka sebagai komplimen terhadap manajemen kepegawaian yang berlaku secara nasional yang dalam banyak aspek sudah tidak memadai lagi (out of date).

 


[1] Edward III, G.C., 1980. Implementing Publik Policy, Congressional Quaterly Press, Washington DC.

[2] Rekruitmen PNS tahun 2006 di berbagai daerah ditandai dengan kericuhan dan keluhan tentang berbagai hal yang mengindikasikan masih belum berjalannya sistem rekruitmen berdasarkan merit (merit system).

[3] Berdasarkan Pendataan Ulang PNS (PUPNS) tahun 2003, PNS berjumlah sekitar 3.6 tetapi berdasarkan daftar gaji terdapat sekitar 4 juta PNS yang menerima setiap bulan (World Bank 2005).

[4] ADB, 2004. Country Governance Assessment Report, ADB, Jakarta.

[5] Depdagri 2005. Grand Strategi Desentralisasi, Depdagri, Jakarta.

[6] USAID 2006. Stock Taking Study of Decentralization, USAID, Jakarta (to be published)

Posted in Uncategorized | Leave a comment

Dari Mana Reformasi Birokrasi?

Hiruk pikuk reformasi yang terjadi lima tahun terakhir nampaknya sudah mulai dirasakan oleh masyarakat sebagai suatu hal yang tidak membawa berkah bagi mereka. Selain karena ekspektasi yang mungkin terlalu tinggi, kekecewaan ini timbul karena laju reformasi yang terjadi pada tataran politik tidak seiring dengan laju reformasi pada tataran birokrasi yang menjadi titik temu antara pemerintah dan masyarakat. Ada kecenderungan jajaran birokrasi sama sekali tidak tersentuh (stagnant) oleh arus reformasi yang terjadi sehingga kinerja birokrasi saat ini masih sama dengan kinerja birokrasi sebelum reformasi.

Ironisnya, sampai saat ini belum terlihat kebijakan yang memadai dari pemerintah untuk mempercepat laju reformasi birokrasi. Yang ada baru sekedar hujatan dan caci-maki. Presiden Megawati, misalnya, mengibaratkan aparat birokrasi pemerintahan yang dipimpinnya saat ini sebagai keranjang sampah. Seperti tidak mau kalah, Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara (MenPAN), dalam berbagai kesempatan, meggambarkan birokrasi sebagai sosok yang kegemukan, tidak becus, mementingkan diri sendiri, dan hanya sekitar 40 persen PNS yang bekerja secara optimal. Walaupun sinyalemen ini ada benarnya, pertanyaan yang lebih penting untuk dijawab tentu saja adalah apa yang sudah dilakukan oleh pemerintah untuk memperbaiki kondisi ini.

Melakukan perubahan yang mendasar pada birokrasi bukanlah pekerjaan yang mudah. Untuk kasus Indonesia yang masalahnya sudah sangat kompleks, mencari jawaban atas pertanyaan dari mana reformasi birokrasi itu harus dimulai pun nampaknya sangat sulit. Namun demikian, mengingat keterbatasan keuangan pemerintah akibat krisis ekonomi yang terjadi dan relatif besarnya jumlah pegawai negeri sipil saat ini, melakukan analisis fungsi lembaga (institutional analysis) dapat dipilih pemerintah sebagai langkah awal dalam melakukan reformasi birokrasi di Indonesia.

***

Pemerintahan yang memiliki komitmen terhadap penciptaan pelayanan publik yang moderen, berkualitas tinggi, efisien, dan responsif terhadap keinginan masyarakatnya secara berkala dan sistematis melakukan analisis fungsi lembaga mereka. Analisis yang dilakukan sedikitnya sekali dalam lima tahun ini bertujuan untuk mengetahui apakah eksistensi setiap institusi pemerintah masih perlu dipetahankan seperti apa adanya, direstrukturisasi, atau sudah saatnya untuk dihapuskan. Adanya kegiatan seperti ini menunjukkan bahwa institusi pemerintah sebenarnya bersifat dinamis yang selalu berubah dan eksistensinya tidak abadi.

Walaupun pada prakteknya dilakukan dengan sangat komprehensif, prinsip utama analisis fungsi lembaga dapat digambarkan secara sederhana dan hanya terdiri dari beberapa langkah. Pertama, analisis fungsi lembaga mempertanyakan apakah kegiatan atau layanan publik (public services) yang selama ini dilakukan (delivered) oleh suatu lembaga pemerintah masih dibutuhkan oleh masyarakat atau tidak. Apabila jawaban dari pertanyaan ini menunjukkan bahwa kegiatan atau layanan tersebut tidak lagi dibutuhkan oleh masyarakat maka lembaga tersebut harus dihapuskan (abolished). Dengan demikian, usia suatu lembaga pemerintah termasuk aparatur di dalamnya hanya seumur kebutuhan masyarakat atas pelayanan lembaga tersebut.

Apabila analisis pertama menunjukkan bahwa sebahagian dari kegiatan dan layanan publik yang dilakukan oleh lembaga tersebut masih ada yang dibutuhkan masyarakat maka langkah kedua yang harus dilakukan adalah merestrukturisasi lembaga tersebut. Unit-unit lembaga yang secara langsung melakukan kegiatan atau menghasilkan layanan yang masih dibutuhkan oleh masyarakat dapat dipertahankan. Sebaliknya, unit-unit yang tidak memiliki kontribusi terhadap layanan yang dihasilkan dapat dihapuskan. Dengan demikian, bentuk akhir dari lembaga tersebut menjadi lebih ramping sesuai dengan kebutuhan. Sudah tiba saatnya pemerintah harus berani mem-PHK pegawai negeri sipil yang kehadirannya tidak diperlukan lagi. Kebijakan seperti ini tentu saja dilematis tetapi dalam jangka panjang akan sangat bermanfaat bagi usaha-usaha memodernisasi birokrasi pemerintah.

Selanjutnya, apabila analisis pertama menunjukkan bahwa masyarakat masih membutuhkan semua kegiatan dan layanan publik yang dihasilkan oleh lembaga pemerintah tersebut maka perlu dilakukan analisa lanjutan yang dapat menghasilkan dua kesimpulan dengan implikasi berbeda. Pertama, walaupun masih masih dibutuhkan masyarakat, layanan publik tersebut tidak lagi harus menjadi tanggung jawab pemerintah. Dengan demikian, layanan tersebut harus dilakukan oleh pihak swasta yang selama ini dikenal sebagai privatisasi. Keputusan privatisasi ini akan menghapuskan lembaga pemerintah yg selama ini malakukan layanan publik sekaligus meringankan beban pemerintah karena tidak perlu lagi mengeluarkan anggaran untuk menyediakan layanan publik tersebut.

Analisis lanjutan dapat juga menyimpulkan bahwa layanan publik tersebut masih dibutuhkan masyarakat dan masih merupakan tanggungjawab pemerintah. Walaupun demikian, kesimpulan ini tidak berarti bahwa pengadaan layanan publik tersebut harus secara langsung ditangani pemerintah. Apabila pihak swasta ternyata mampu menghasilkan kualitas layanan yang lebih baik dengan harga yang lebih murah maka layanan publik yang selama ini dilakukan oleh lembaga pemerintah dapat dialihkan ke pihak swasta walaupun anggaran masih menjadi tanggung jawab pemerintah (contracting out). Oleh karena lembaga pemerintah tidak lagi secara langsung memberikan layanan publik tersebut, eksistensi lembaga tersebut juga harus diakhiri atau minimal diciutkan sekedar untuk melaksanakan fungsi regulasi saja. Keinginan Wakil Presiden yang dikemukakan beberapa waktu yang lalu untuk membubarkan BKKBN mungkin dapat dilihat dalam konteks ini. Maksudnya, walaupun lembaga ini dibubarkan, fungsi-fungsi BKKBN tetap dapat dinikmati oleh masyarakat.

***

Tidak dapat dipungkiri bahwa kinerja birokrasi saat ini masih sangat jauh dari harapan pemerintah dan masyarakat. Namun demikian, menghujat kinerja birokrasi tanpa melakukan usaha-usaha nyata untuk memperbaiki kinerja tersebut tidak akan memperbaiki kondisi yang ada sekarang. Di tengah kesulitan untuk memutuskan dari mana reformasi birokrasi ini bisa dimulai, analisis fungsi lembaga dapat menjadi titik awal apabila pemerintah serius untuk melakukan perbaikan terhadap kondisi birokrasi. Dengan melakukan analisis fungsi lembaga maka ada beberapa hasil positif yang dapat diperoleh apabila dilakukan secara konsisten. Pertama, pemerintah dapat menentukan lembaga mana yang eksistensinya sudah tidak dibutuhkan lagi dan oleh karena itu harus dibubarkan. Kedua, pemerintah juga dapat melakukan proses restruktursasi kelembagaan pemerintah secara lebih bertanggung jawab. Tidak seperti penghapusan Departemen Penerangan dan Departemen Sosial di jaman pemerintahan Abdul Rahman Wahid yang walaupun mungkin sangat beralasan tetapi terkesan emosional dan mengada-ada. Ketiga, dengan melakukan analisis fungsi kelembagaan, pemerintah dapat menunjukkan kepada para pegawai negeri sipil bahwa pekerjaan sebagai pelayan masyarakat bukan lagi pekerjaan seumur hidup (lifetime employment). Salah satu penyebab rendahnya kinerja birokrasi karena adanya anggapan di antara pegawai negeri sipil bahwa pekerjaan mereka adalah untuk seumur hidup. Terakhir, dengan melakukan analisis fungsi lembaga secara konsisten pemerintah dapat menghemat anggaran yang cukup besar karena tidak perlu lagi terus membiayai lembaga-lembaga pemerintah yang kegiatan atau layanannya tidak lagi dibutuhkan oleh masyarakat atau yang fungsinya dapat dijalankan oleh pihak swasta.

Posted in Uncategorized | Leave a comment

Corruption in Indonesia: causes, forms, and remedies

Introduction

Indonesia is one the world’s most corrupt countries, according to studies conducted both by the Berlin-based organisation, Transparency International, and by the Hong Kong-based organisation, Political and Economic Review Risk Consultancy (Katz, 1995; Aji, 1995). Although it is unclear exactly what these organisations mean by ‘corruption’, the studies also suggest that the problem of corruption is not the monopoly of developing countries, but also a problem of western developed countries such as the United States, Britain, Germany and France. Alatas (1990) clearly states that the problem of corruption is tranysmetic, that is, it inheres all political systems.

This article surveys various definitions of corruption and explores why corrupt practices exist in public services. It further analyses which of these definitions and rationales apply in the Indonesian context. By identifying these sources of corruption, this essay will finally propose some suggestions to overcome the problems, and the difficulties which may be faced in implementing the proposed solutions.

Defining corruption

The results of the studies mentioned above may have been different if the definition of corruption applied was not a fixed, uniform one, but based on what is believed in each country. Gift-giving practices in many developing countries in Africa and Asia, based on traditional beliefs, honours or social status, may have been categorised as corruption in western developed countries, but not by traditional gift-giving practitioners (Ali, 1985). If the studies had also included the sale of state offices in France and the United States this century in the calculation of the corruption index, the result may again have been different. Likewise, if the studies had been undertaken two hundred years ago, such practices may not have been categorised as corrupt, and the results would be different again.

Gould (1991) and Gardiner (1993) have argued that there is no single definition of corruption which can be accepted by all peoples of different places and times. Corruption may be different from region to region, and from time to time. Some authors such as Johnston (1982) and Heidenheimer et al. (1989) have defined corruption simply as power or public role abuse for private gain, but Nye (1979:417) proposed a more complex and longer definition of corruption, as:

behaviour which deviates from the normal duties of a public role because of private-regarding (family, close private clique) pecuniary or status gain; or violate rules against the exercise of certain types of private-regarding influence. This includes such behaviour as bribery (use of reward to pervert the judgement of a person in a position of trust); nepotism (bestowal of patronage by reason of ascriptive relationship rather than merit); and misappropriation (illegal appropriation of public resources for private-regarding uses).

In order to maximise recognition of corrupt practices among the Indonesian public servants, Nye’s definition is adopted throughout this essay.

Sources and forms of corruption

As with definitions of corruption, theorists disagree as to why public servants behave corruptly. This section part discusses some of these reasons and analyses which forms of corruption are  manifest in Indonesia.

(a)     Monopoly

Alfiler (1986), Rose-Ackerman (1987), and Mackintosh (1992) point out that since the public sector, with its limited capacity, on the one hand,  is the only provider of certain services, while a large number of citizens, on the other hand, need those particular services, corrupt practices easily occur. Public sector products, including, for instance decisions and licences, are valuable because demand for them usually exceeds supply. This is worsened by expanding role of the state and the fact that official procedures are usually time-consuming, uncertain, impersonal and expensive (Johnston, 1993; Hope, 1987).

In Indonesia, bribes are the most common form of corruption in relation to the abuse of the monopoly function of public sector. In economic jargon, Gray (1979) describes bribes as the market price which should be paid by consumers to buy certain goods in the form of licences or permits. For example, to obtain an identification card (which is obligatory for adult in Indonesia), driving licence, marriage, death or birth certificate, or documents from the immigration department quickly, an applicant may have to pay up to twenty times the official cost (Schwarz, 1994:135).

Furthermore, the price will certainly be more expensive if the license or permit applied for is for productive business, whether the permit is required to run a small shop or a big company. It is widely known (Inside Indonesia, March 1995:2-4), for example, that requests for an official licence for a new commercial publication are purpotedly granted only if twenty percent of the company stock is reserved for a senior official in the Department of Information. This excludes an additional, invisible monthly fee of five to ten million rupiah (AUD $3,000-6,000). At present, this senior official or his immediate family owns shares in at least thirty-one Indonesia print publications, in two private television stations, and in two private radio companies (Inside Indonesia, March 1995:4).

(b)     Low income and poverty

Poverty, or being paid at a rate inadequate to meet daily basic needs is another factor luring public servants into corruption (Tinbergen, 1993 inter alia). In the case of Indonesia, Schrool (1980), Pauker (1980) and Soedarso (1969) agree that widespread corruption in Indonesia is closely related to, among other factors, a means of supplementing excessively low government salaries and not to amass vast private fortunes. As an illustration, Tansil (1980) compared the salary of newly recruited Indonesia police with their counterparts in Greece, (a relatively less rich country in the European context), and also compared the prices of certain goods and services in both countries. Tansil concluded that although the prices of basic goods and services in Indonesia and Greece are similar, the salaries of the Greek police are four times higher than those of Indonesians.

It is not uncommon, then, if the ‘motorists in any of Indonesia cities view the police as collectors of an unofficial road tax, rather than as upholders of the law’ (Schwarz, 1994:135). Not only on the road, but also on many occasions off the road, the police will try to ‘tax’ the ones needing their services. Schwarz mentioned his own experience. When his car was stolen in 1991, Schwarz needed a verification letter from the police in order to collect on his car insurance. A police captain would only ‘help’ prepare the letter if he was given US$ 300 (Schwarz, 1994:135).

However, it may be argued that low income as a justification for corruption may only hold true for the ‘street-level bureaucrats –  although there are many Indonesian public servants at this level who perform their duties honestly. The need to supplement a low income can not remain a justifiable excuse for the senior official in the Department of Information, for example, whose salary, together with other incentives and privileges, must be more than adequate.

(c)     Traditional value

While traditional gift-giving practices may resemble corruption in the form of bribery, other traditional values may have resulted in more nepotistic forms (Olowu, 1993 inter alia). The most obvious Indonesian example is in the recruitment and promotion of public servants, including military personnel, but also occurs in selection for entry to schools and universities. The criteria for public service recruitment and promotion in many cases no longer follow Weber’s model; that is, the bureaucrats be selected on the basis of merit. Rather, it is based on patronage and how big a bribe or so-called ‘thanks-giving’ a candidate can offer to the recruitment and promotion committee. Recruitment is therefore not merely an administrative procedures, but provides income for relatives, supporters, clients or other patrons (Palmier, 1985; Hague, et al., 1993). Besides a political purpose to absorb unemployment into the public sector, the patronage system has also caused internal pressure to increase the size of Indonesia administration from approximately 420,000 public servants in 1950 (Feith, 1962:83) to 4,030,220 in 1994 (Halligan and Turner, 1995:31). This large number of public servants may also be a factor preventing the payment of adequate salaries mentioned earlier (Palmier, 1985).

Furthermore, nepotism is also clearly at work among major actors in Indonesia’s economy. Almost all Chinese conglomerates receive facilities from the government such that, according to Bratanata, a leading critic in Indonesia, ‘to most Indonesians, the word ‘Chinese’ is synonymous with corruption’ (as cited by Schwarz, 1994:98). The most popular facility awarded is a monopoly to provide certain goods and services, or a contract to be the sole supplier to the government of particular goods and services at ridiculously inflated prices – up to 200 percent more than market prices (Aji, 1995:86).

(d)     Public ignorance

Public perception is another crucial factor determining a nation’s level of corruption. The more apathetic the society is toward the corrupt practices, (as is the case in many developing countries), the more widespread the government graft and bribery will be (ICAC, 1994; Ali, 1985). Although a poll by Tempo in 1980 showed that 43.8 percent of respondents named corruption and abuse of power by public servants as the most dangerous element in the country (Hamzah, 1991:4), the Indonesian public seems to tolerate corruption. Two factors may explain this phenomenon. Firstly, the people are apathetic because they have lived with corruption for such a long time that it has become a habit. The history of corruption in Indonesia, according to Anderson (1972), began in the time of World War II, when the arbitrary reduction of salaries through inflation meant that in less than four years the Indonesian rupiah sank to one sixtieth of its previous value. Since then, corruption has remain a stubborn feature of the republic.

Secondly, public ignorance toward corruption may sometimes be related to cultural practices or traditions. Since forty percent of the Indonesian population is Javanese, and in many cases dominate the key positions in public sector, Javanese culture is often blamed for the practices of corruption, collusion, and nepotism in the public service (Magnis-Suseno, 1995). It is a Javanese cultural imperative, for instance, to avoid conflict. Javanese people may tend to tolerate corrupt practices rather initiate conflicts with the culprits by taking action or reporting the problem. In addition, as a colonised people, the master-servant relationship of colonialism linger on. Public servants are seen as the masters who are always right, who never make mistakes and therefore can be blamed for anything they do (Magnis-Suseno, 1984). Indeed, according to Schwarz (1994:135), the very term ‘public servant’ is something of a misnomer in Indonesia because in this ‘quasi-feudal’ culture, it would be more accurate to say that government employees are the ‘owners’ of the nation and the general public their servants.

(e)     Forms of government

It is widely believed that democracy delegates certain powers to society which may function as a check on the abuse of power by the state. The presence of strong political parties and pressure groups, and freedom of press may offer safeguards against arbitrary or corrupt decision-making (Ali, 1985). Unfortunately, although Indonesia has had democratic institutions such as parliament, political parties and regular elections since independence, in effect the government is still far from democratic (Budiman, 1990; Crouch, 1990).

The elections, for example, which have been conducted five times during Soeharto’s presidency have been neither free nor fair because it is evident that bribes and cheating are at work in various forms (Liddle, 1992 inter alia). The candidacy for members of parliament (MPs) must be approved by the government, and MPs from the opposition parties who might enjoy popularity among voters are, then, denied candidature (Liddle, 1992; Stanley, 1992). In fact, of the 1000 members of People’s Consultative Assembly (MPR), which decides who should govern the country, only 400, being also members of House of Representative (DPR), are elected. The other 600 are appointed by the government (YLBHI, 1990:68). As a result, elections which give the people a ‘vote’ not a ‘say’ (Stanley, 1992:2), hardly effect any real change in the way Indonesia is governed (Frederick and Worden, 1992), and do nothing to change the socio-political status quo.

The press, which has been a very effective means in preventing the government from abusing its power in many countries (Corbett, 1992) is also suffering in Indonesia. Although there are more than 200 press publications, nearly 700 private radio stations and five television companies operating in the country, Indonesian journalists are not able to report freely because although the Indonesian Pancasila press is  ‘free’, it must also be ‘responsible’ (Indonesia Department for Information, 1994:221-2). No-one knows exactly what is meant by a ‘free and responsible press’, but twelve newspapers and magazines were banned in 1974, fourteen others were closed four years later, as was one in 1990 – all for being ‘irresponsible’. The latest media closure occurred in June 1994, when two leading Indonesia news magazines, Tempo and Editor, along with the  tabloid Detik, were banned. Although the government gave the official cause for their shut-down as ‘administrative failure’, it is widely believed that these three weeklies were banned because they openly criticised some Ministers’ policies (Utami et al., 1994; Inside Indonesia, September 1994; Frederick and Worden, 1992; Orentlicher, 1989).

Combating corruption: implementation problems

From the evidence offered in the previous section, it could be argued that serious and comprehensive anti-corruption campaigns are necessary – and must be sustained – if corruption is to be rooted out in Indonesia. Of course, after several decades of entrenched corruption, it would be very difficult to totally eradicate (Hope, 1987). However, in the Indonesian context, the following strategies may minimise corrupt practices in the public sector.

(a)     Administrative reform

Comprehensive administrative reform in the form of privatisation, deregulation, decentralisation,  professionalisation and commercialisation of public services is the first thing which should be done. Privatisation may take various forms from contracting-out public services or functions or selling off state’s assets (Samson, 1994; Lane, 1993). The underlying idea is not to pit the private sector against the public sector, but rather to establish competition in order to minimise the monopoly provision of public goods and services, and to ensure the public accountability of all providers. The normative perspective of Vining and Weimer (1990) argues that goods and services should only be produced by the government where the supply is not contestable (or competitive), and should be contracted with public financing when supply is contestable. The ‘exit and voice’ theory of Hirschman (1970) also supports the privatisation strategies for minimising corruption. Public consumers will readily exit from goods and services offered by the public sector where a cheaper, better and incorrupt alternative is available.

Indonesia is probably the most regulatory country in the world with respect to permits and licences. To get married, to enrol in a school and university, and even to have a discussion among more than five people, one needs a permit from the authorities (Gaffar, 1995).  Since this licencing activity is a critical arena of corruption, deregulation in this area may minimise corruption. ‘Deregulation’, here, refers to reducing or abolishing unnecessary rules and regulations (Caiden, 1993). As a reform strategy, deregulation is based on the fact that there is a positive correlation between corruption and the scope of government activities: the more interventionist the government, the greater the risk of corruption. If some government activities were restricted or abolished by deregulation policy, there would be fewer vehicles for corruption. This may, however, have political implications, and these will be discussed later.

Decentralisation, according to Charlick (1993), Olowu (1992) and Hope (1987), is an appropriate strategy with which to minimise corruption especially in very centralised countries such as Indonesia. However, decentralisation must not be merely administrative, but must involve the delegation of real authority –  including the authority to generate and reserve a portion of local revenues. Local authorities must also be accountable both to local and higher groups. Abuse of authority and public corruption is less likely to occur if the rules which govern local officials are at least in part defined by local norms, evincing local support and legitimacy. However, although the government has publicly advocated a decentralisation program, it is one limited to administrative functions, not fiscal functions.

Bahl and Linn (1994) offer a number of factors to explain why central governments, especially those in developing countries, tend to keep centralising their fiscal functions centralised. Three of those factors seem consistent with Indonesian conditions. Firstly, fiscal centralisation allows the central government to distribute funds proportionately among differently wealthy regions. This is justified by the fact that in some Indonesian provinces (such as those in the Nusa Tenggara islands), the land is very dry without natural resources, while in others (such as  Sumatra and Kalimantan) the land is very fertile and rich in mineral resources. By retaining central authority, the government is able to shift the wealth and revenues from the richer to the poorer provinces.

Secondly, local governments in almost every country have very weak administrative practices and service delivery capabilities, such that taxes and other revenues may not be optimally collected if financial functions are decentralised to local government. If this is the case, however, the scarcity of human resources in local governments may be overcome by relocating public servant from the headquarters to the field, and by using special incentives to keep senior officers in the field. Finally, central governments may be afraid of social upheaval and state disintegration if local governments are given fiscal autonomy. The Indonesian central government may fear that the trauma of a number of regional movements for independence in the 1950s and 1960s, such as the Aceh Independence Movement and Papua Independence Organisation, may reoccur (Schwarz, 1994).

Professionalisation and commercialisation of the Indonesian public servants, as has occurred in some state enterprises, may also be helpful in minimising corruption. Training is an important method because ‘no matter how well qualified a person may be at the time of recruitment, becoming an effective and efficient public servant must be taught and inculcated rather than assumed’ (Hope, 1987:137). Administrative training, however, should not be viewed merely as a technocratic exercise, but its objective must include the creation of commitment in public servants to national goals and values, including ethical personal behaviour and a strong work ethic (Paul, 1983).

Because the number of Indonesian public servants is so large that it  may be a crucial factor in the government’s inability to increase the salaries, redundant personnel should be retrenched through programs of phased deployment and early retirement. The government’s ‘zero growth public service’ program should be seriously implemented, and where recruitment must occur, merit-based and performance-oriented should be applied. The practice of recruiting the unemployed into the public sector simply to improve the unemployment statistics should be stopped, and programs which improve employment opportunities outside the public sector should be introduced. In addition, to minimise the temptation for public servants to act corruptly in order to bolster their low incomes, public sector salary levels should be reviewed to ensure that wages correspond to the cost of living. Similarly, senior public servants’ salaries should be competitive with their private sector counterparts’,  and non-monetary allowances should also be introduced as part of the total salary package.

(b)     Public mobilisation

Perhaps the most important factor in controlling corruption, according to Gardiner and Malec (1989), is public commitment: insistence on the part of the community that corruption is intolerable. Therefore, public mobilisation programs should be introduced in Indonesia. There are at least four factors contributing to the public ignorance and apathy surrounding corruption in Indonesia. Firstly, there is a lack of information: citizens may not know that public servants are corrupt, that corruption is costly to society, and that corruption affects them. Secondly, improper and traditional values as described earlier may hinder public commitment: citizens, for example, may believe that personal gain is the only thing that counts and that public servants are supposed to look out for themselves alone. Thirdly, the public may lack opportunities to express its intolerance of corruption: citizens may not be able to report corruption without retaliation. Lastly, there may be no incentive for a public commitment to anti-corruption reforms: comparing the costs and benefits of the present situation with those of a public sector, citizens may feel that they gain more from corrupt government than they would from an honest system, and may lose more from taking action than they would gain (Gardiner and Malec, 1989:108-9).

To succeed, therefore, a public mobilisation program must address these four concerns. Both the Hong Kong and the New South Wales Independent Commission Against Corruption, for example, campaign against corruption through various publications, brochures, film and video competitions, seminars, discussions, and advertisements. This is expensive, of course,  but one must be considered against the larger sums of public money which will be saved if the programs are successful (Clark, 1989; ICAC, 1994). Education in proper values and ethical behaviour – beginning in schools – could also be introduced. This might include, for example, correcting the misconception that an advantage is corrupt only when large sums of money or when highly-placed public servants are involved, or could involve generating a sense of public pride in belonging to an honest society. In short, a successful program a successful program will encourage citizens in four areas; not to participate in corruption, to ‘blow the whistle’ when they become aware of specific instances of corrupt behaviour, to support honest candidates for public office, and to work for public integrity.

(c)     Political reform

The last, but probably the most important factor determining the success of anti-corruption reforms in Indonesia, is political reform towards a democratic system of government. A number of writers point out that democratisation has positive effects in reducing corruption, both in the public and private sectors. The more democratic a country, the more likely mechanisms will be put in place to monitor the performance of administrators and bureaucrats, as well as the incentives created to promote incorruptness and punishments mandated  to discourage corrupt practices (Noonan, 1984 inter alia).

Free press, that is, a press not subject to being banned or censored by the authorities, can become an effective and efficient monitoring and controlling mechanism in a democratic environment because it is easier, then, for the media to investigate allegations of corruption and expose them. In Japan, for example, the mass media exercise strong influence on the public, and have an important role in revealing unfair administrative actions and corruptions. It was the media revelation of an aircraft scandal which finally forced the ‘popular but high-handed’ Prime Minister Kakuei Tanaka to resign from office (Tashiro, 1988:219).

Political reform in Indonesia toward democracy may see competitive elections, independent political parties and vocal parliamentarians controlling the executive and reining in corrupt practices. In India, according to Jain (1988), parliamentary control over the executive has been effective not only in general political control, but also in detailed examination of government and public servants’ activities. In contrast, there is abundant evidence showing that the level of corruption found in such quasi-totalitarian state with very weak, ‘rubber stamp’ parliamentarians such as the former Soviet Union, Eastern Europe, and People’s Republic of China, is enormous (Simis, 1982).

Political reform towards democracy is not only the most important anti-corruption strategy, but is also likely to be the most difficult to achieve. The first difficulty arises because the so-called middle class – educated people of a certain level of wealth (who, in many cases, such as in the South Korea and Thailand, have become effective fighters for democracy) – is not a true middle-class. Unlike their counterparts in other countries who are successful because of  their entrepreneurial skill, Indonesia’s businesspeople, mostly ethnic Chinese, are very dependant on  government patronage various kinds of protection and monopolies. Although economically powerful, but politically very weak (and well aware of the streak of anti-Chinese sentiment which runs through Indonesian society), these people have an interest in maintaining the current political system in which they can buy protection via personal alliances with government officials or through financial contributions to the institutions charged with maintaining the status quo (Schwarz, 1994).

Secondly, as some analysts argue, the political reform toward democracy in Indonesia will only be realised if the initiative comes from the old but powerful and influential president, Soeharto (Crouch, 1994; Tornquist, 1990). However, it remains doubtful as to whether the president would give up after more than thirty years in power.

Conclusion

Corruption is a problem for both developed and developing countries. In Indonesia, corrupt practices are triggered by; the monopoly functions of the public sector in delivering certain services; poverty and low public sector incomes; traditional values; ignorance; and the form of government. Although some strategies to combat corruption have been identified, these are unlikely to succeed in Indonesia so long as  the government remains undemocratic.

References

Aji, B., 1995. ‘Menekan ICOR dengan Antibocor’ (Lowering ICOR with Anti-Leak), Forum Keadilan, 11 September:86.

Alatas, H.S., 1990. Corruption: its nature, causes and function, Gower Publishing, Avebury.

Alfiler, M.A.C.P., 1986. ‘The process of bureaucratic corruption in Asia: emerging patterns’ in Carino, L.V. (ed.), Bureaucratic Corruption in Asia: causes, consequences and control, College of Public Administration, University of the Philippines, Manila: 15-68.

Ali, S., 1985. Corruption: a third world perspective, Azis Publishers, Lahore.

Anderson, R.O.G., 1972. Java in a Time of Revolution, Ithaca, New York.

Bahl, R. and Linn, J., 1994. ‘Fiscal decentralisation and intergovernmental transfers in less developed countries’, Journal of Federalism (24)5:1-19.

Budiman, A., 1990. ‘Introduction: from a conference to a book’ in A. Budiman (ed.) State and Civil Society in Indonesia, Monash Paper on Southeast Asia No. 22, Monash University, Victoria:1-14.

Caiden, G.E., 1993. ‘From the specific to the general: reflections on the Sudan’, Corruption and Reform, 7(3):205-14.

_____, 1991. ‘Administrative reform’ A. Farazmand (ed.), Handbook Comparative and Development Public Administration, Marcel Dekker, New York.

Charlick, R.B., 1993. ‘Corruption in political transition: a governance perspective’, Corruption and Reform, 7(3):177-88.

Clark, D., 1989. ‘Mobilizing public opinion against corruption: a commentary’, Corruption and Reform, 4(2):123-29.

Corbett, D., 1992. Australian Public Sector Management, Allen and Unwin, Australia.

Crouch, H., 1990. ‘The nature of state control: Introduction’ in A. Budiman (ed.) State and Civil Society in Indonesia, Monash Paper on Southeast Asia No. 22, Monash University, Victoria:115-21.

_____, 1994. ‘Indonesia: an uncertain outlook’, Southeast Asian Affairs 1994, Institute of Southeast Asian Studies, Singapore.

Feith, H., 1962. The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia, Ithaca, New York.

Frederick, W.H. and Worden, L.H. (eds.), 1992. Indonesia: a country study, Federal Research Division Library of Congress USA, Washington D.C.

Gaffar, A., 1995. ‘Deregulasi Perizinan Untuk Siapa?’ (Permit Deregulation for Whom?), Forum Keadilan, 25 September:20.

‘Ganjaran 17 Tahun Penjara’(Jailed 17 Years), 1994. Republika, 15 August:1.

Gardiner, J.A., 1993. ‘Defining corruption’, Corruption and Reform, 7(2):111-25.

Gardiner, J.A. and Malec, K.L., 1989. ‘Mobilizing public opinion against corruption: a report to the Chicago ethics project’, Corruption and Reform, 4(2):107-22.

Gould, D.J., 1991. ‘Administrative corruption: incidence, causes, and remedies’ in A. Farazmand. (ed.), Handbook of Comparative Development and Public Administration, Marcel Dekker, New York: 467-80.

Gray, C., 1979. ‘Civil service compensation in Indonesia’ Bulletin of Indonesian Economic Studies, 15(1):65-70.

Hague, R., Harrop, M., and Breslin, S., 1993. Comparative Government and Politics: an introduction, Macmillan, London.

Halligan, J. and Turner, M., 1995. Profiles of Government Administration in Asia, AGPS, Canberra.

Hamzah, A., 1991. Korupsi di Indonesia: masalah dan pemecahannya (Corruption in Indonesia: problems and cures), Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Heindenheimer, A.J., Johnston, M. and LeVine, T. (eds), 1989. Political Corruption: a handbook, Transaction Publishers, Oxford.

Hirschman, A.O., 1970. Exit, Voice, and Loyalty: responses to decline in firms, organizations, and states, Harvard University Press, Massachusetts.

Hope, K.R., 1987. ‘Administrative corruption and administrative reform in developing states’, Corruption and Reform, 2(2):127-47.

Hungtington, S., 1968. Political Order in Changing Society, Yale University Press, New Haven.

ICAC (Independent Commission Against Corruption), 1994. Community Attitudes to Corruption and the ICAC, ICAC, Sydney.

Indonesia Central Bureau of Statistics, 1991. Statistical Year Book of Indonesia 1991, Jakarta.

Indonesia Department of Information, 1994. Indonesia 1994: an official handbook, Jakarta.

Jain, R.B., 1988. ‘Public service accountability in India’, in J.G. Jabbra and O.P. Dwivedi (eds), Public Service Accountability: a comparative perspective, Kumarian Press, Colorado:122136.

‘Jaksa Tuntut 13 Tahun Penjara Bagi Maman Suparman’ (Maman Suparman can be Sentenced to 13 Years), 1994. Republika, 27 June:1.

James, P., 1990. ‘The political economy of the new order state’ in A. Budoman (ed.), State and Civil Society in Indonesia, Monash Papers on Southeast Asia No. 22, Monash University, Victoria:15-28.

Johnston, M., 1982. Political Corruption and Public Policy in America, Brooks/Cole Publishing, California.

______, 1993. ‘Micro and macro possibilities for reform’, Corruption and Reform, 7(3):189-204.

Katz, I., 1995. ‘Asia leads in corruption’, Guardian Weekly, August 20:3.

Lane, J., 1993. The Public Sector: concepts, models and approaches, Sage, London.

Le Vine, V.T., 1993. ‘Administrative corruption and democratization in Africa: aspects of the theoretic agenda’, Corruption and Reform, 7(3):271-78.

Leng, T.C., 1993. ‘Indonesia in 1992: anticipating another Soeharto term’, Southeast Asia Affairs 1993, Institute of Southeast Asian Studies, Singapore.

Liddle, R.M., 1992. Pemilu-Pemilu Orde Baru: pasang surut kekuasaan politik (Elections During the New Order: the low and high tide of political power), LP3ES, Jakarta.

Mackintosh, M., 1992. ‘Questioning the State’ in Wuyts M., Development Policy and Public Action, Oxford University Press, Oxford: 61-9.

Magnis-Suseno, F., 1984. Etika Jawa (Javanese Ethics), Gramedia, Jakarta.

______, 1995. ‘Javanese culture: scapegoat for all evils?’, The Jakarta Post, 19 August:1.

Majidi, N., 1994. Mega Skandal (Huge Scandal), Mizan, Bandung.

‘Muzzling the Indonesian Press’, 1994. Inside Indonesia, September:3-5.

Noonan, J.T., 1984. Bribes, Macmillan, New York.

Nye, J.S., 1979. ‘Corruption and political development: a cost-benefit analysis’ in M.U. Ekpo (ed.), Bureaucratic Corruption in Sub-Saharan Africa: toward a search for causes and cosequences, University Press of America, Washington D.C:417-27.

Olowu, D., 1993. ‘Roots and remedies of governmental corruption in Africa’, Corruption and Reform, 7(3):227-37.

Orentlicher, D.F., 1989. Human Rights in Indonesia and East Timor, Asia Watch, New York.

Osterfeld, D., 1988. ‘Corruption and development’, Journal of Economic Growth, 2(4):13-20.

Palmier, L., 1985. The Control of Bureaucratic Corruption: case studies in Asia, Allied Publisher Private Limited, New Delhi.

Pauker, G.J., 1980. ‘Indonesia 1979: the record of three decades’, Asia Survey, 20(2):64-71.

Paul, S., 1983. Training for Public Administration and Management in Developing Countries: a review, World Bank Staff Working Paper No. 584, Washington D.C.

Penders, C.L.M., 1981. Mohammad Hatta, Indonesian Patriot: memoirs, Gunung Agung, Singapore.

Peters, B.G., 1984. The Politics of Bureaucracy, Longman, New York.

Rose-Ackerman, S., 1987. Corruption: a study in political economy, Academic Press, New York.

Samson, C., 1994. ‘The three faces of privatisation’, Sociology, 28(1):79-97.

Schoorl, J.W., 1980. Modernisasi (Modernisation), Gramedia, Jakarta.

Schwarz, A., 1994. A Nation in Waiting: Indonesia in the 1990s, Allen and Unwin, Australia.

Scot, J.C.,1972. Comparative Political Corruption, Prentice-Hall, New Jersey.

Simis, K., 1982. The USSR: the corrupt society, Simon and Schuster, New York.

Soedarso, B., 1969. Korupsi di Indonesia (Corruption in Indonesia), Bhratara, Jakarta.

Stanley, 1992. ‘An Excuse for a Party’, Inside Indonesia, June:6-9.

‘Sticky Fingers: Harmoko’s business interests’, 1995. Inside Indonesia, March:2-4.

Tanzil, H.O.K., 1981. ‘Catatan Perjalanan Tanzil 1980’ (Tanzil’s Traveling Notes 1980), Intisari, February:134-41.

Tashiro, K., 1988. ‘Accountability in the public service: a comparative perspective in Japan’, in J.G. Jabbra and O.P. Dwivedi (eds), Public Service Accountability: a comparative perspective, Kumarian Press, Colorado:214-26.

Timbergen, J., 1993. ‘Social integrity in a new world order’, Corruption and Reform, 7(2):147-53.

Tornquist, O., 1990. ‘Rent capitalism, state, and democracy’, in A. Budiman (ed.), State and Civil Society in Indonesia, Monash Papers on Southeast Asia No. 22, Monash university, Victoria:29-50.

Transparency International, 1993. Corruption: the misuse of public power for private profit, Technical University of Berlin, Berlin.

Utami, A., Hasibuan I., Santoso, and Siregar, L.P., 1994. Bredel 1994 (The Press Bannings 1994), AJI, Jakarta.

Vining, A.R. and Weimer, 1990. ‘Government supply and government failure: a framework based on contestability’, Journal of Public Policy, 10(1):1-22.

YLBHI (Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia), 1990. Laporan Keadaan Haka Asasi Manusia di Indonesia 1990 (Human Rights Report in Indonesia 1990), YLBHI, Jakarta.

 

Posted in Uncategorized | Leave a comment

Pensiun Dini

Pada setiap kesempatan memberikan kuliah kepada para pegawai negeri sipil (PNS) yang mengikuti pendidikan dan latihan (diklat), saya selalu melontarkan pertanyaan apakah kantor mereka diliburkan atau ditutup karena mereka sedang mengikuti diklat. Tentu saja, para PNS ini selalu menjawab tidak karena, katanya, pekerjaan mereka sudah didelegasikan kepada pegawai lainnnya. Kalau begitu, kata saya selanjutnya menyimpulkan, “bapak-bapak dan ibu-ibu ini adalah PNS yang sebenarnya tidak dibutuhkan dan sebaiknya diberhentikan saja”.

Oleh banyak pihak, utamanya para PNS, kesimpulan saya ini banyak ditentang karena dianggap tidak ilmiah. Namun demikian, kenyataan sehari-hari juga menunjukkan bahwa jumlah PNS saat ini sudah melebihi dari yang sebenarnya dibutuhkan. Bukankah para PNS yang tampak berkeliaran di pasar, mal, jalan atau yang asyik bermain catur, domino, atau nonton Inul di televisi, pada jam-jam kerja, adalah bukti empiris bahwa kehadiran mereka sebenarnya tidak dibutuhkan di kantor mereka masing-masing?

Oleh karena itu saya tidak merasa kaget mengetahui niat pemerintah untuk memberlakukan kebijakan pensiun dini bagi PNS mulai tahun 2004, yang katanya, sebagai konsekuensi teknis dari PP 8/2003. Sebab, sejatinya, tanpa kehadiran PP 8/2003, pemerintahan yang memiliki komitmen terhadap penciptaan pelayanan publik yang moderen, berkualitas tinggi, efisien, dan responsif terhadap keinginan masyarakat seharusnya melakukan analisis fungsi lembaga secara berkala dan sistematis.

Analisis yang dilakukan sedikitnya sekali dalam lima tahun ini bertujuan untuk mengetahui apakah eksistensi setiap institusi pemerintah masih perlu dipertahankan seperti apa adanya, direstrukturisasi, atau sudah saatnya untuk dihapuskan. Adanya kegiatan seperti ini menunjukkan bahwa institusi pemerintah sebenarnya bersifat dinamis yang selalu berubah dan eksistensinya tidak abadi. Dengan demikian pekerjaan sebagai pelayan masyarakat (public servants) bukanlah pekerjaan seumur hidup (lifetime employment).  Adanya anggapan di antara PNS bahwa pekerjaan mereka dijamin sepanjang hayat adalah salah satu penyebab rendahnya kinerja birokrasi kita saat ini.

Untuk dapat menentukan kelompok PNS yang akan diikutsertakan dalam program pensiun dini dan agar mendapatkan dukungan karena dinilai sebagai langkah yang rasional, kebijakan pensiun dini dapat dimulai dengan analisis fungsi lembaga. Analisis ini pada dasarnya menilai apakah kegiatan atau layanan publik (public services) yang selama ini dilakukan (delivered) oleh suatu lembaga pemerintah masih dibutuhkan oleh masyarakat atau tidak. Apabila hasil analisa ini menunjukkan bahwa kegiatan atau layanan tersebut tidak lagi dibutuhkan oleh masyarakat maka lembaga tersebut harus dihapuskan (abolished). Dengan demikian, usia suatu lembaga pemerintah termasuk aparatur di dalamnya hanya seumur kebutuhan masyarakat atas pelayanan lembaga tersebut. Aparatur yang bekerja pada lembaga yang layanannya tidak lagi dibutuhkan oleh masyarakat dapat dijadikan sebagai “kloter” pertama kebijakan pensiun dini.

Analisis fungsi lembaga dapat juga menunjukkan bahwa sebahagian dari kegiatan dan layanan publik yang dilakukan oleh suatu lembaga pemerintah masih ada yang dibutuhkan masyarakat. Hasil analisis seperti ini dapat disikapi dengan melakukan restrukturisasi lembaga. Unit-unit lembaga yang secara langsung melakukan kegiatan atau menghasilkan layanan yang masih dibutuhkan oleh masyarakat dapat dipertahankan. Sebaliknya, unit-unit yang tidak memiliki kontribusi terhadap layanan yang dihasilkan dapat dihapuskan. Dengan demikian, bentuk akhir dari lembaga tersebut menjadi lebih ramping sesuai dengan kebutuhan. PNS yang mengisi unit-unit yang harus dihapuskan tersebut dapat dimasukkan ke dalam kelompok kedua pelaksanaan program pensiun dini.

Apabila analisis fungsi lembaga menyimpulkan bahwa masyarakat masih membutuhkan semua kegiatan dan layanan publik yang selama ini dihasilkan oleh suatu lembaga pemerintah maka perlu dilakukan analisa lanjutan yang dapat menghasilkan dua kesimpulan dengan implikasi berbeda. Pertama, walaupun masih dibutuhkan masyarakat, layanan publik tersebut tidak lagi menjadi tanggung jawab pemerintah. Dengan demikian, layanan tersebut harus dilakukan oleh pihak swasta yang selama ini dikenal sebagai privatisasi. Keputusan privatisasi ini akan menghapuskan lembaga pemerintah yg selama ini malakukan layanan publik sekaligus menghasilkan PNS yang berpotensi untuk diikutsertakan dalam program pensiun dini

Kesimpulan kedua dapat juga menunjukkan bahwa selain masih dibutuhkan masyarakat, layanan publik yang dimaksud masih merupakan tanggung jawab pemerintah. Walaupun demikian, kesimpulan ini tidak berarti bahwa pengadaan layanan publik tersebut harus secara langsung ditangani pemerintah. Apabila pihak swasta ternyata mampu menghasilkan kualitas layanan yang lebih baik dengan harga yang lebih murah, maka penyediaan layanan publik tersebut dapat dialihkan ke pihak swasta walaupun anggarannya masih menjadi tanggung jawab pemerintah (contracting out). Karena pemerintah tidak lagi secara langsung menyediakan layanan publik yang dimaksud, eksistensi lembaga tersebut juga harus diakhiri atau minimal diciutkan sekedar untuk melaksanakan fungsi regulasi saja. PNS yang selama ini menjalankan lembaga tersebut selanjutnya dapat diprogramkan untuk mengikuti pensiun dini.

*

Ketika pemerintah daerah sedang hangat-hangatnya menata kelembagaan mereka, di bulan-bulan awal implementasi Undang-undang 29/1999, saya pernah melakukan “protes” kepada salah satu harian yang cukup ternama di Makassar karena, dengan judul-judul yang sangat provokatif, menyayangkan hilangnya beberapa jabatan eselon akibat penataan kelembagaan di berbagai pemerintahan kabupaten/kota di Sulawesi Selatan. Sepertinya  harian ini lebih bersimpati kepada pejabat yang harus kehilangan kedudukannya dari pada penghematan anggaran yang terjadi karena dihapuskannya jabatan-jabatan yang tidak lagi dibutuhkan. Semoga kali ini simpati kita lebih kepada negara dan bukan pada individu-individu. Siapa sih yang takut pensiun dini?

Posted in Uncategorized | Leave a comment

Pemerintah Pa paja’ paja’ (taxing local government)

Peraturan Gubernur (Pergub) Sulawesi Selatan No 28 tahun 2010 yang antara lain mengatur pembayaran retribusi bagi dokter muda (coass), asisten dokter spesialis (residen), dan calon perawat atau bidan yang magang atau praktik di rumah sakit (RS) di bawah naungan pemprov, akhirnya ditangguhkan. Tidak tanggung-tanggung Pergub ini mewajibkan pembayaran retribusi magang untuk residen Rp 75 ribu per minggu, mahasiswa coass sebesar Rp 60 ribu, dan untuk perawat atau bidan sebesar Rp 50 ribu. Seperti dugaan saya Pergub ini pasti akan dicabut, kalau bukan oleh pembuatnya sendiri pasti oleh pemerintah pusat. Tahun lalu saja, Departemen Keuangan (Depkeu) mencatat, pemerintah sudah mencabut pemberlakuan 688 peraturan daerah tentang pajak dan retribusi daerah. Ini berarti, sejak sejak 2001, pemerintah pusat telah membatalkan lebih dari 3500 Perda dari 13000 lebih Perda yang dievaluasi oleh Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Depkeu. Perda-perda bermasalah ini dianulir karena, antara lain, sangat memberatkan masyarakat dan tidak kondusif dengan iklim berusaha. Selain alasan-alasan yang sudah dikemukakan tersebut, Perda-perda bermasalah ini juga menggambarkan betapa wajah pemerintahan sekarang ini telah berubah dari yang seharusnya pelayan masyarakat (seving government) ke pemerintahan pa paja’ paja’ (taxing government).

Bagi masyarakat Sulawesi Selatan, istilah atau ungkapan pa paja’ paja’ tentu sudah tidak asing lagi di telinga kita. Awalnya, istilah ini, mungkin, dengan konotasi netral, diberikan kepada pegawai pemerintah yang betugas memungut pajak atau retribusi dari masyarakat. Belakangan, istilah ini sepertinya mengalami pergeseran makna sehingga sekarang, sepertinya, julukan ini diberikan lebih banyak kepada seseorang, yang tanpa alasan yang benar (illegal) dan biasanya disertai dengan ancaman, meminta orang lain (korban) untuk menyerahkan harta bendanya, baik dalam bentuk uang maupun dalam bentuk materi lainnya. Oleh karena itu istilah pa paja’ paja’, saat ini, lebih banyak digunakan dalam konotasi negatif seperti pemerasan atau perampokan.

Dalam konotasi negatif seperti inilah, istilah pemerintahan pa paja’ paja’ itu dimaknai masyarakat saat in yang artinya, kurang lebih, pemerintah yang hanya pandai menarik pajak dan restribusi dari masyarakat tetapi tidak diimbangi dengan penyediaan layanan publik yang memadai. Pemerintahan pa paja’ paja’ hadir setiap saat, di berbagai tempat, secara terang-terangan, dan karena itu merecoki hampir semua aktifitas sosial ekonomi masyarakat. Sebagai contoh, pernah masyarakat mengeluhkan kehadiran pemerintahan pa paja’ paja’ di rekening pembayaran listrik mereka. Yang dimaksud dengan pemerintahan pa paja’ paja’ di sini adalah rekening retribusi sampah yang harus dibayar setiap bulan karena disatukan dengan rekening listrik. Padahal, katanya, sampah mereka tidak pernah diangkut oleh pemerintah yang bernama dinas kebersihan. Sedangkan, di dalam rekening listrik itu sendiri masyarakat sudah lama mengeluhkan kehadiran pemerintahan pa paja’ paja’ dalam bentuk pajak penerangan jalan. Masyarakat merasa pajak seperti ini seharusnya hanya ditarik dari mereka yang menikmati penerangan jalan dan tidak ditarik dari masyarakat yang jalan-jalan di sekitar rumahnya galap-pekat di malam hari karena tidak berlampu jalan. Atau sebaliknya, karena pemerintah menarik pajak penerangan jalan maka pemerintah juga harus menyediakan fasilitas penerangan jalan yang memadai.

Para pemilik hotel dan restoran juga pernah mengeluhkan kehadiran pemerintahan pa paja’ paja’ di halaman-halaman hotel dan restoran mereka. Pemerintahan pa paja’ paja’ di tempat-tempat seperti ini berwujud, antara lain, retribusi parkir. Para pengusaha ini mengeluh karena halaman parkir tersebut berada di atas tanah milik mereka dan dibangun dengan biaya sendiri untuk memudahkan para pelanggan mereka yang umumnya menggunakan kendaraan. Para orang tua yang menggunakan kendaraan untuk mengantar-jemput anak-anak mereka dari sekolah juga pernah mengeluhkan kehadiran pemerintahan pa paja’ paja’ yang berwujud retribusi parkir. Betapa tidak, mereka harus membayar retribusi parkir pemerintah meskipun kendaraan mereka hanya berhenti sejenak di jalan di depan sekolah.

Masyarakat, khususnya pengusaha dan sopir angkutan antar kota, juga mengeluhkan kehadiran pemerintahan pa paja’ paja’ di hampir sepanjang jalan di republik ini. Ada pemerintahan pa paja’ paja’ yang berseragam polisi, ada juga yang berseragam pamongpraja. Yang berseragam polisi, katanya, biasanya hadir di tempat-tempat yang strategis dan agak lengang sedangkan yang berseragam pamongpraja dapat dipastikan hadir di batas-batas wilayah kabupaten atau kota dan di terminal-terminal. Apa pun seragamnya, pemerintahan pa paja’ paja’ dalam wujud seperti ini, bagi pengusaha dan sopir angkutan, selalu berarti pengeluaran biaya tambahan.

Pemerintahan pa paja’ paja’ juga hadir di pabrik, di perkebunan, di sawah dan di pantai. Di pabrik, wujud pemerintahan pa paja’ paja’ beraneka rupa. Selain yang klasik seperti pajak keuntungan, ada juga wujud pemerintah pa paja paja yang menggelikan dan ada yang relatif baru. Yang menggelikan, misalnya, pemerintah pa paja’ paja’ hadir dalam rupa retribusi alat pemadam kebakaran. Ini artinya, pemilik pabrik harus membayar retribusi karena mereka melengkapi pabriknya dengan alat pemadam kebakaran. Jadi, untuk berjaga-jaga dari bahaya kebakaran pun pengusaha harus membayar pemerintah. Yang relatif baru adalah  sosok pemerintahan pa paja’ paja’ di pabrik berupa pajak generator. Karena pasokan listrik dari perusahan negara tidak terlalu andal, banyak pengusaha yang melengkapi pabrik mereka dengan generator. Untuk itu, lagi-lagi, pengusaha harus membayar pemerintah.

Di sawah dan perkebunan rakyat pun pemerintah pa paja’ paja’ merasa perlu untuk hadir. Bukan untuk membantu para petani meningkatkan hasil produksi mereka tatapi untuk turut menikmati hasil jerih payah para petani yang kadang-kadang tidak mencukupi untuk kebutuhan petani dan keluarganya. Di antara produksi petani, pemerintahan pa paja’ paja’ hadir dalam bentuk retribusi pascapanen atau retribusi penggunaan pupuk. Di pantai, di mana para nelayan berlabuh dan menurunkan hasil tangkapan mereka, pemerintah tidak mau ketinggalan untuk melibatkan diri. Di sini, pemerintahan pa paja’ paja’ hadir dalam wujud retribusi hasil laut atau semacam itu. Terakhir, sebelum meninggalkan kota Makassar, para pengguna jasa penerbangan di bandara Sultan Hasanuddin juga dihadang oleh pemerintahan pa paja’ paja’ dalam bentuk “donasi”.

Contoh-contoh yang disebutkan tadi hanyalah sebagian kecil dari wujud kehadiran pemerintahan pa paja’ paja’ dalam hampir semua aspek kehidupan sosial ekonomi masyarakat, seperti iklan minuman ringan: kapan saja, di mana saja, siapa saja. Namun sebaliknya, pemerintahan pa paja’ paja’ juga seperti mahluk gaib, antara ada dan tiada. Pemerintah pa paja’ paja’ ada ketika akan menarik keuntungan dari masyarakat dan menghilang ketika waktunya untuk melaksanakan kewajiban menyediakan pelayanan publik yang memadai bagi masyarakat. Penomena ini persis sama dengan perilaku partai-partai politik dan calon-calon legislatif dan eksekutif di negara ini. Berlomba mendekati rakyat di hari-hari menjelang pemilu dan melupakan rakyat segera setelah perhitungan suara berakhir.

*Amir Imbaruddin, guru besar administrasi publik STIA LAN Makassar

Posted in Uncategorized | Leave a comment

Pemerintah Daerah Pengemis

Perilaku bak pengemis pemerintah daerah seperti yang ditunjukkan oleh Pemerintah Kabupaten Maros dengan meminta donasi dari setiap penumpang pesawat udara di bandara internasional Sultan Hasanuddin (Makassar) ternyata penyakit yang diderita umumnya pemerintah daerah di Indonesia. Di beberapa daerah, penyakit mengemis pemda ini bahkan lebih parah lagi. Di bandara Wolter Monginsidi (Kendari), misalnya, penyakit semacam ini bahkan lebih parah lagi.  Retibusi yang ditarik oleh Pemprov. Sulawesi Tenggara (Rp. 13.000) lebih mahal dari biaya airport tax (Rp. 11.000) yang harus dibayar oleh setiap penumpang. Seperti tidak mau kalah oleh Pemprov. Sultra, Pemkab. Konawe Selatan juga memasang loket dan ikut memohon belas kasihan setiap penumpang sebesar Rp.2000.

Walaupun setiap pemda memberi istilah yang berbeda, pungutan ala pengemis ini umumnya dibungkus dengan perda retribusi. Namun demikian, berbeda dengan pajak yang tidak ada timbal balik langsung kepada para pembayar pajak, retribusi adalah pungutan yang ada timbal balik langsung dari penerima retribusi kepada penerima retribusi. Lalu apa imbal balik langsung yang diterima penumpang dari pemda yang menarik retsibusi di bandara? Bukankan fasilitas bandara tidak dibangun oleh pemda dan penumpang telah membayar layanan yang digunakan melalui pembayaran airport tax? Kalau sekedar kemampuan mengemis, setiap orang memenuhi syarat untuk menjadi bupati, walikota atau gubernur.

Posted in Uncategorized | Leave a comment

Truk: Pembunuh Berdara Dingin

Satu lagi warga Makassar tewas menggenaskan – kepala hancur dan otak terburai – digilas truk. Karena salah satu kewajiban pemerintah adalah melindungi keselamatan warganya maka Pemerintah Kota Makassar sudah seharusnya membatasi beroperasinya truk dalam kota. Truk-truk sepuluh roda atau lebih seharusnya hanya diizinkan beroperasi pada malam hari saja.

Pentingnya pembatasan jam operasi kendaraan besar ini sejalan dengan kondisi infrastruktur jalan di Kota Makassar saat ini yang sudah sangat tidak sebanding dengan jumlah kendaraan yang melintas. Hal ini diperparah oleh perilaku berlalu lintas umumnya pengendara yang tidak tertib. Sedangkan di kota-kota di belahan dunia lain yang memiliki infrastruktur jalan yang sangat baik dan perilaku berkendaraan warganya yang sangat tertip sekalipun jarang sekali didapati kendaraan berat beroperasi di dalam kota pada siang hari.

Oleh karena itu, sekali lagi, yang terhormat para pengambil kebijakan di kota ini, tolong hentikan truk pembunuh berdarah dingin ini beroperasi dalam kota pada siang hari. Tidak perlu menunggu jatuh korban-korban selanjutnya. Bayangkan seandainya yang digilas truk dan otaknya terburai itu adalah anak, istri, suami, ibu atau bapak anda. Saya sangat yakin, para pengusaha pemilik truk-truk raksasa tersebut tidak akan bangkrut dan PAD Kota Makassar tidak akan berkurang hanya karena pembatasan ini.

Posted in Uncategorized | Leave a comment

Masih Ada Kebanggaan

Karena sangat bersemangat untuk segera menikmati Kota Palembang yang baru pertama kali saya kunjungi, telepon genggam N8 saya, yang baru sebulan saya miliki (features-nya pun belum saya tahu semua), tertinggal di mobil rental airport-hotel. Saya menyadari hal ini setelah hampir satu jam berada di hotel. Agak panik, dengan telepon di kamar hotel saya menghubungi nomor telepon genggam saya. Tidak terjawab. Coba lagi, tetap saja tidak terjawab. Sudahlah, melayang sudah. Belum, masih ada usaha terakhir. Dengan bantuan resepsionis hotel, saya menghubungi bagian reservasi hotel yang ada di bandara, yang kemudian menghubungi sopir mobil rental airport-hotel yang mengantar kami tadi. Katanya, betul, telepon genggam saya tertinggal di mobil dan akan segera mengantarkan ke hotel tempat saya menginap. Surprised? Sepertinya ini mungkin biasa saja bagi si sopir (yang sayangnya tidak sempat saya tahu namanya). Tetapi bagi saya, di tengah ketiadaan pahlawan dan krisis kebanggaan yang sedang melanda negeri ini, tindakan sang sopir sungguh membuat saya surprised. Masih ada yang patut dibanggakan di negeri ini.

Posted in Uncategorized | Leave a comment

Hello world!

Welcome to WordPress.com. After you read this, you should delete and write your own post, with a new title above. Or hit Add New on the left (of the admin dashboard) to start a fresh post.

Here are some suggestions for your first post.

  1. You can find new ideas for what to blog about by reading the Daily Post.
  2. Add PressThis to your browser. It creates a new blog post for you about any interesting  page you read on the web.
  3. Make some changes to this page, and then hit preview on the right. You can alway preview any post or edit you before you share it to the world.
Posted in Uncategorized | 1 Comment